Dimana, pada tahun-tahun tersebut harga kopi yang awalnya sekitar Rp. 900 per kilogramnya tiba-tiba melambung tinggi mencapai Rp. 2.500 per kilogram (pada masa itu nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sangat rendah sekitar Rp. 750 per Dolar). Petani di kota berhawa sejuk tersebut sontak menjadi kaya. Perekonomian berputar sedemikian cepatnya.

Masyarakat cenderung jadi konsumtif dan konon kata Sinulingga ada beberapa masyarakat yang meluapkan kegembiraannya dengan mencuci tangan sebelum makan dengan menggunakan bir. Naiknya harga kopi hingga mencapai level Rp. 2.500 per kilogram adalah diakibatkan gagalnya panen kopi di Negara penghasil kopi terbesar di dunia Brazilia.

Masa keemasan petani kopi Sidikalang tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja harga kopi yang awalnya mencapai Rp. 2.500 per kilogramnya turuin drastis menjadi Rp. 800 per kilogramnya. Akibat dari penurunan harga yang sangat drastis ini, petani Sidikalang banyak yang kecewa dan minatnya untuk merawat serta bercocok tanam kopi kian sirna.

Walaupun pasaran kopi di kota wisata iman ini kian ditinggal oleh petani, beberapa dari mereka masih ada yang tetap bertahan dan merawat tanaman kopi mereka. Dari pantauan Analisa di beberapa lokasi kebun kopi di Sidikalang, beberapa diantaranya sudah menanam tanaman sela diantara tanaman kopi. Antara lain, petani kopi di sana menanam jeruk di sela-sela tanaman kopi. Seperti diungkapkan salah seorang petani yang ditemui dilahan pertanian kopinya mengatakan, kalau tanaman kopinya sudah tidak menghasilkan maksimal dan bila tanaman jeruk yang ditanamnya sudah berbuah, maka tanaman kopi sebagai tanaman utamanya akan ditebang. Posisinya yang pernah jaya akan tergantikan oleh tanaman jeruk.

Trade mark kota Sidikalang yang dikenal dengan kopi Sidikalangnya mungkin lambat laun akan biasa-biasa saja. Beberapa penjual bubuk kopi Sidikalang sana pun hanya mengharapkan rejeki berdasarkan pesanan dan penjualan ke beberapa grosir dan pasar. Pemilik UD. Ida di Jalan Sudirman Sidikalang, Saur Barita Aritonang saat ditemui di tempat pengolahan bubuk kopinya mengatakan kopi yang mereka olah menjadi bubuk kopi diperoleh dari petani yang telah dikumpulkan oleh pedagang pengumpul dengan harga beli Rp. 12.100 per kilogramnya. Biji kopi yang dibeli umumnya sudah terkupas, kering dan siap untuk digongseng.

"Bubuk kopi yang kita olah memang hanya kopi Robusta. Waktu pengolahan dari biji kopi menjadi bubuk berkisar antara 4 sampai 5 jam. Dimulai dari gongseng sekitar 1,5 sampai 2 jam. Kemudian didiamkan sekitar 2 jam . Setelah itu baru digiling hingga halus. Halus kasarnya bubuk juga sesuai dengan permintaan konsumen," papar Aritonang.

Berdasarkan pengalaman selama ini, lanjutnya, 1 kilogram kopi Robusta bisa menghasilkan bubuk kopi sekitar 0,65 sampai 0,7 kilogram. Dengan harga jual per kilogramnya Rp. 24 ribu. Selain dipasarkan di kota Sidikalang, kopi hasil olahannya juha dipasarkan ke Jakarta, Pematang Siantar, Balige, Pekanbaru dan Medan. Pada hari-hari tertentu seperti jelang Natal dan Tahun Baru stok bubuk kopi akan ditambah. Yang biasanya satu minggu (waktu pengolahan hari Senin sampai Kamis) mengolah sekitar 400 kilogram kopi ditambah porsinya menjadi 500 sampai 600 kilogram per minggu.

Keseriusannya hampir 40 tahun menekuni bisnis pengolahan dan penjualan bubuk kopi Sidikalang telah menghantar Aritonang bisa ikut pameran di arena Pekan Raya Sumatera Utara, pelatihan dari Dinas Perindustrian dan sosialilsasi tentang standarisasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan. Karena dari kemasan yang ada, mulai dari ¼ kg, ½ kg, 1 kg, 2 kg dan kemasan lainnya belum ada nomor register dari Balai POM. Andai saja hal ini bisa dilaksanakan oleh beberapa pebisnis kopi di Sidikalang, kopi hasil olahan mereka akan bisa menembus pasar-pasar tardisional dan modern seperti supermarket dan hypermarket.

"Itu sebabnya kita masih sangat membutuhkan arahan dan pendampingan pemerintah dalam mengembangkan usaha bubuk kopi Sidikalang ini," tandas ayah dari 3 anak ini.

Make a New Post