
PETANI DAIRI, ANTARA JERUK DAN KOPI
ENTAH siapa yang memulai, tanaman kopi yang selama ini jadi trade mark-nya kota Sidikalang mulai bergeser posisinya oleh tanaman jeruk. Belakangan ini, selain buah durian dari Parongil yang biasa membanjiri pasar dusian di kota Medan, jeruk dari Sidikalang juga sudah mulai diminati.
Rasanya yang manis, buahnya yang seragam dan tekstur kulit buah yang bersih dikhawatirkan akan menggeser posisi jeruk Berastagi yang selama ini dikenal oleh banyak kalangan memiliki keunggulan tersendiri.
Menurut salah seorang petani jeruk yang ditemui di ladangnya di Sidikalang, posisi kopi saat ini sudahbergeser di hati masyarakat Dairi. Hal ini terjadi sejak harga kopi di pasaran dunia kian terpuruk. Padahal, kopi Sidikalang pernah menorehkan masa keemasan.
Akibat dari keadaan ini, petani kopi banyak yang mencoba beralih ke tanaman jeruk. Mereka yakin karena topografi kabupaten ini tidak jauh beda dengan kabupaten Karo. Setelah mencoba beberapa tahun dan berhasil, ternyata hasil panen yang merek peroleh sangat menguntungkan. Satu hari panen sebanyak 200 kilogram saja, mereka jual ke pasar dengan harga Rp. 4000 sampai Rp. 5000 per kilogram, mereka akan mempunyai penghasilan sekitar Rp. 800 ribu sampai Rp. 1 juta per harinya. Sementara untuk panen tanaman kopi masih membutuhkan waktu mulai dari menjemur, mengupas dan menjemur lagi sampai kering baru bisa dijual.
Selain itu, seperti diutarakan toke kopi di pasar Sidikalang, A. Sinulingga, harga kopi saat ini bervariasi sesuai kualitas dan jenisnya. Kopi Arabica dengan kulit sekitar Rp. 10.300 per kilogram, ada juga yang per liter (tumba) Rp. 11.000 per 2 liter. Untuk menjualnya kembali ke pasaran kopi local atau ekspor harus dijemur lagi selama setengah hari kemudian dikupas, dijemur lagi dan disortir. Harga kopi Arabica setelah disortir mencapai Rp. 21.600 per kilogram.
Dalam hal pemasaran kopi Arabica ini, lanjut Sinulingga yang sudah menekuni profesinya sejak 1978, harus pintar melihat situasi. Karena kendala yang sering dihadapi selama ini adalah sulitnya mendapatkan informasi tentang harga pasaran kopi nasional dan internasional. Apakah sedang naik atau sedang turun.
"Peran pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan opeh petani dan pedagang kopi di Dairi," paparnya.
Kekecewaan masyarakat akibat dari turunnya harga kopi menyebabkan banyak petani yang beralih dari tanaman kopi ke tanaman lain. Ada anggapan bagi merek bahwa masa depan tanaman kopi kurang menjanjikan. Pedagang (toke) kopi pun harus ekstra hati-hati jika ingin menampung kopi dari petani. Kalau kopi Robusta mungkin masih bisa langsung diolah jadi bubuk kopi, sementara kopi Arabica, bubuknya kurang diminati masyarakat. Banyak pebisnis kopi saat ini takut jika ingin menjual kopi yang mereka tampung harganya tiba-tiba anjlok.
Dari pengamatan di beberapa lahan pertanian di kabupaten Dairi, petani kopi sudah mulai menanam komoditi alternatif di sela-sela tanaman kopi sebagai tanaman utamanya. Ada yang menanam palawija dan tanaman yang menghasilkan dalam waktu singkat. Ada juga yang menanam tanaman jeruk.
Kelak, setelah tanaman jeruk menjulang tinggi dan menghasilkan buah, posisi kopi sebagai tanaman utama akan tergeser oleh tanaman jeruk. Padahal, kalau saja petani bisa menyiasati keduanya, hasil yang diperoleh akan berlimpah. Dalam kaitan ini, seperti disampaikan oleh Sinulingga, petani di Dairi masih sangat membutuhkan peran serta pemerintah dalam memberikan arahan dan bimbingan.
Kalau pemerintah kabupaten Dairi tidak segera menanggapi keluhan para petani di kota berhawa sejuk ini, trade mark "Kopi Sidikalang" yang selama ini melekat erat dan sudah dikenal oleh masyarakat bisa saja bergeser posisinya oleh "Jeruk Sidikalang". Petani di Dairi saat ini dihadapkan pada dua pilihan, antara tanaman jeruk atau kopi Sidikalang.